Surat Untuk Widji Thukul
Widji ...
Jasamu begitu besar! Kata-katamu tidak akan pernah sirna.
Jiwamu akan selalu hidup dan tak akan pernah mati. Akan hidup bersama orang-orang yang
menginginkan perubahan positif untuk Indonesia.
Dua minggu
yang lalu teman-temanku dan aku mempunyai kesempatan membacakan puisimu di
depan umum. Malam itu kami menonton film ("Istirahatlah Kata-Kata'') tentangmu, tentang
perjalananmu. Filmnya memang tenang dan tidak menggambarkan kebrutalan. Tetapi
kata-kata yang kau rangkai dalam puisimu berhasil menggerakan hati ini dan
seketika meneteskan air mata.
Ketika film hampir selesai aku paksakan untuk tidak pergi ke
kamar mandi biarpun mukaku berlumuran air mata. Maskara yg menempel di bulu
mata membuatku tidak berani untuk mengusap air mata. Karena aku dan
teman-temanku setelah film selesai akan membacakan puisi-puisimu di depan
banyak orang. Mungkin nanti jika dihapus wajahku terlihat seperti hantu dengan
bola mata hitam menyala, pikirku. Aku memang terkadang konyol.
Akhirnya kamipun maju ke depan untuk bersiap membaca puisi
dan menunggu giliran. Ketika temannku mebacakan „Peringatan“, seketika
mendengar kata „lawan“ di akhir puisimu, air mataku meluap lagi dan hampir tak
bisa menahan jerit tangis. Aku bangga pada teman-temanku orang Jerman dan Amerika yang juga membacakan puisimu. Dan di antara mereka ada yang memiliki
darah Indonesia. Semoga kau juga bangga di sana dan senang mendengarnya. Puisi-puisi
yang kami bacakan diantaranya: Peringatan, Sajak Bapak Tua, Buat L.CH dan A.B,
Lumut, dan Puisi Menolak Patuh. Ketika dosenku bertanya puisi mana yang ingin
kubaca, mataku langsung terarah pada salah satu puisi tersebut. Dosenku terlihat begitu senag
karena memang puisi itu yang paling tepat untukku.
Giliranku terakhir. Aku membacakan „Puisi Menolak Patuh“. Aku pikir aku akan
membacakannya dengan ekspresi sederhana. Tetapi setelah menonton filmmu, puisi
ini benar-benar semakin menyayat hati. Aku seakan tak mampu membacakannya.
Hampir menangis lagi ketika membacakan baris ke dua. Tapi akhirnya aku berhasil
membacakannya dan membuat semua orang di ruangan tersentuh dan terkagum-kagum
dengan ekspresiku.
Aku memang cengeng dan emosional. Tapi aku sangat peduli dengan nasib bangsa Indonesia. Perjuanganmu tak terbandingkan. Aku hanya
bisa menyebarkan dan mengatakan kebenaran tentang apa yang terjadi kepada
generasi Indonesia. Aku tidak akan pernah berhenti, akan kusalurkan juga
semuanya lewat tulisan dan kata-kataku. Agar mereka tidak terkena doktrin lagi.
Aku ingin mengajarkan kepada mereka untuk berani bertanya dan berpikir, tidak
hanya menerima apa yang yang mereka pelajari.
Karena filmmu itu („Istirahatlah Kata-Kata“) aku mengenal
lebih perjuangan besarmu yang telah kau lakukan untuk kehidupan yang lebih baik
di Indonesia. Situasi sosial yang ditunjukan dalam film itu memang begitu nyata
dan aku benar-benar merasakannya. Sejenak aku menyambungkannya dengan apa yang
kulihat dan kualami. Air mata meluap-luap dan hati hancur sekali. Melihat
saudara sendiri ditindas, dinjak-injak haknya dan dibunuh pula.
Filmmu ini memang bersangkutan dengan kisah „Laut Bercerita“
(Laila Chudori) . Dan hal ini juga yang membuat isakan tangisku ini tak kunjung
berhenti. Karena semuanya ada sangkut pautnya, apa yang terjadi dan apa yang
dialami oleh para aktivis, termasuk kau Wiji. Memang kebenaran sudah nyata ada,
hanya belum bisa dipublikasikan. Suatu saat pasti aku akan menulis surat kalau,
Indonesia bukan lagi Indonesia yang seperti sekarang, aku harapkan sekali itu.
Bahwa setiap orang tidak dibatasi haknya.
Kau tahu bahwa pemerintah Indonesia tidak membiarkan 100%
rakyatnya untuk mengerti dan mempelajari sejarahnya sendiri. 2011 aku baru
menyadari bahwa apa yang kupelajari selama ini tidak benar, khususnya tentang
kasus 65 dan 98. Aku sangat bersyukur bisa mengetahui hal tersebut, bahkan aku
bertemu para korbannya langsung dan mewawancarai mereka yang masih hidup,
ketika study tour ke Belanda. Perjalanan yang menarik dan yang mengubah jalan
hidup, yang membuatku memutuskan untuk memilih kuliah Asia Tenggara di Jerman
sana. Study ini membuatku tidak akan pernah berhenti berbuat untuk Indonesia
dan menyampaikan kebenaran.
Kenapa kebenaran sulit sekali ditegakkan? Bukannya Indonesia
sudah menjadi negara demokrasi? Apakah pemerintah masih belum bisa menyelipkan
kisahmu ke dalam bagian sejarah Indonesia? Atau masih takut menceritakan
bagaimana sebenarnya dulu terjadi? Mungkin ini hanya pertanyaan naif, karena
sebenernya kita sendiri belum bisa 100% bebas membicarakan kebenaran atau soal
HAM.
Kau telah melakukan perubahan besar untuk Indonesia. Kau
telah melakukanya untuk kami. Kami berhutang besar terhadap apa yang telah kau
lakukan untuk kami. Jasamu akan selalu kami kenang. Aku berjanji di setiap hari
ulang tahunmu, akan kubacakan puisimu atau kutuliskan surat untukmu, walaupun
aku tak akan pernah mendapat balasannya. Tapi aku tahu kau mendengernya. Pendukungmu tak akan lelah bersuara.
Ketika ada orang sepertimu yang berani akan mengungkapkan kebenaran, tetapi beliau malah dibunuh. Beliau juga sangat peduli dengan masalah HAM, terutama kasus orang-orang yang dihilangkan. Ah... aku sepertinya tidak akan pernah bisa berhenti bercerita, jika mulai lagi dengan tema baru.
Tapi ingat… perjuangan
kita memang bukan sampai sini, perjuangan kita masih panjang, kita harus bangun
Indonesia bersama. Aku hanya berharap, kalau kau ada di sini dan berjuang
bersama.
Aku sangat bersyukur diberikan kesempatan untuk lebih mengenal tentangmu. Indonesia membutuhkan seseorang sepertimu. Kau lebih dari seorang
pahlawan. Kau memang pantas disebut seperti itu! Juga para aktivis lain yang berjuang untuk demokrasi dan telah dibunuh.
Sampai bertemu di surat selanjutnya ...
Film "Istirahatlah Kata-Kata" ketika diputar di Universitas Hamburg |
Sumber foto Human Rights: http://e-pao.net/epSubPageExtractor.asp?src=education.Human_Rights_Legal.Communication_as_Human_Rights
Comments
Post a Comment